“SEHAT JIWANYA, SEHAT SENYUMNYA”

“Orang jahat adalah orang baik yang tersakiti”
Ketika mendengar ungkapan ini, rasanya kita akan langsung teringat sebuah film yang dianggap menggambarkan sisi lain dari orang-orang dengan masalah kejiwaan atau mental. Tentunya tidak dibenarkan menjadi orang jahat, apapun alasannya. Namun demikian, ada kondisi-kondisi yang memang pada akhirnya membuat si penderita masalah kejiwaan tidak dapat mengontrol kehidupannya sendiri, termasuk dalam hal kesehatannya. Setiap orang, termasuk kita dan juga orang-orang terdekat kita, bisa mengalami masalah kesehatan pada mentalnya. Sayangnya, kesehatan mental hampir selalu menimbulkan masalah kesehatan lainnya. Hal ini tentunya perlu membuat kita lebih waspada. Rongga mulut sebagai bagian tubuh yang berpengaruh fungsi pengunyahan, bicara, hingga estetika bisa menjadi salah satu area yang terdampak dari masalah mental tersebut.

Pasien dengan masalah kejiwaan dilaporkan memiliki kesehatan gigi dan mulut yang lebih rendah dibanding pasien biasa. Namun hal tersebut seringkali tidak menjadi masalah besar bagi mereka. Tidak ada nyeri yang dirasakan, tidak ada gangguan pengunyahan, dan sebagainya. Kondisi seperti ini berdampak pada terlambatnya penanganan medis terhadap kasus yang dialami sehingga menjadi lebih parah dan berisiko memperburuk kualitas hidup.

Menurut Kisely dkk (2016), pasien dengan masalah kesehatan mental yang berat hampir 3 kali lebih sering mengalami kehilangan gigi dibanding populasi pasien tanpa masalah kejiwaan. Gigi berlubang, terkikisnya lapisan gigi, dan kelainan jaringan penyangga gigi juga merupakan beberapa contoh masalah gigi dan mulut yang sering dijumpai pada pasien dengan kelainan jiwa. Untuk pasien jiwa seperti penderita schizophrenia, kondisi diperberat sebagai efek samping dari penggunaan obat-obat psikotropika berupa antipsikotik ataupun antidepresi.

Di samping masalah yang terkait dengan kebersihan mulut, pasien dengan schizophrenia juga lebih besar risiko mengalami trauma yang berdampak pada fraktur, sebagaimana hasil telaah sistematis oleh Stubbs dkk (2015). Fraktur yang dimaksud bisa juga termasuk fraktur pada regio rongga mulut ataupun wajah yang dapat menyebabkan perubahan gigitan (maloklusi) sehingga berpengaruh terhadap pengunyahan. Di sebuah RS khusus kejiwaan, pernah ada seorang pasien dari sebuah panti yang menaungi orang-orang terlantar diantar dengan kondisi luka di wajah dan patah dan goyang sebagian gigi depan pada rahang bawahnya. Berdasarkan keterangan dari pihak yang mengantar (petugas panti), pasien yang bersangkutan secara sengaja membenturkan benda keras ke bagian wajah atau mulutnya sendiri.

Selain kasus trauma dalam bentuk kerusakan pada jaringan keras seperti gigi atau rahang, kasus lainnya bisa tampak sebagai tampilan yang abnormal pada jaringan lunak. Bayangkan, kita yang dalam keadaan stres (karena masalah keluarga atau pekerjaan), walaupun derajatnya tidak seperti yang dialami pasien jiwa, sudah merasa “menderita” dengan munculnya sariawan di bibir atau lidah. Pada pasien jiwa, luka jaringan lunak seperti sariawan tersebut bisa tampak lebih ekstrem. Ada pasien yang suka menggigit lidah atau bibir, dan ketika diperiksa oleh dokter, kondisinya sudah demikian parah, apalagi jika dipengaruhi masalah sistemik lainnya yang seringkali baru terdeteksi cek laboratorium atau pemeriksaan penunjang lainnya.

Untuk kasus yang memerlukan pembedahan, pasien-pasien dengan kejiwaan perlu dipersiapkan secara khusus karena memiliki keterbatasan kemampuan komunikasi dan seringkali tidak kooperatif. Di antara mereka bisa jadi masih gaduh gelisah sehingga perlu diterapi dalam ruangan khusus agar tidak membahayakan dokter, perawat, atau pasien lain yang juga dirawat. Ketika pasien sudah ditangani secara pembedahan, biasanya penderita masalah jiwa dengan segenap obatnya juga masih harus berhadapan dengan komplikasi yang sangat mungkin terjadi pasca operasi, sebagaimana dilaporkan oleh Senel (2007). Komplikasi tersebut berpengaruh terhadap proses penyembuhan pasien.

Berdasarkan penelitian oleh Tiwari dkk (2022), lebih dari 65% orang dengan masalah kejiwaan pada masa pandemi memilih untuk tidak melakukan apapun terhadap masalah gigi dan mulut yang dirasakan. Biasanya yang menjadi penyebab adalah stigma, status sosial ekonomi, atau rasa cemas untuk berkunjung ke dokter gigi. Di samping di antara mereka juga memiliki kesulitan untuk memahami instruksi medis.

Kondisi pandemi COVID jelas meningkatkan masalah mental, entah pada diri kita maupun orang-orang terdekat. Risiko depresi bertambah akibat masa isolasi, kondisi kehilangan pekerjaan, hingga kehilangan orang terdekat. Pada masa di mana risiko penularan COVID 19 masih sangat tinggi dan tingkat kematiannya juga mengkhawatirkan, orang-orang menunda berobat ke dokter gigi. Jika tidak diikuti dengan upaya pemeliharaan kesehatan gigi dengan benar secara mandiri, maka tidak mengherankan jika keluhan gigi dan mulut makin bertambah.

Masalah kesehatan gigi dan mulut yang tidak tertangani akan semakin menurunkan kualitas hidup. Rendahnya perilaku sosial hingga meningkatnya risiko penyakit komorbid yang dipengaruhi gigi mulut bisa jadi dampak dari masalah kesehatan gigi dan mulut pasien-pasien kejiwaan. Tentunya dukungan sosial tetap menjadi kunci, di samping upaya sistem pelayanan kesehatan yang terus dikembangkan agar bisa menjangkau orang-orang tersebut. UU no 18 tahun 2014 tentang kesehatan jiwa sudah menekankan bahwa setiap orang harus bisa mencapai kualitas hidup yang baik dan menikmati kehidupan kejiwaan yang sehat. Pada akhirnya, jiwa kita bisa “bicara” tentang banyak hal, termasuk masalah kesehatan kita. Apapun latar belakang profesi kita, entah itu pengusaha, guru, ibu rumah tangga, bahkan dokter atau presiden sekalipun, hal kecil maupun besar yang ada di dunia ini bisa menjadi ujian bagi kesehatan mental.

Bayu Rahadian,
Spesialis Bedah Mulut dan Maksilofasial

*ditulis dalam rangka Hari Kesehatan Jiwa Sedunia, 10 Oktober

Leave a Comment